STRUMA
1. Defenisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan
fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya,
seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid
umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
2. Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis
tengah usus depan (De Jong & Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai
terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan
pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial
pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang
kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan akhirnya
melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi
pada keadaan tertentu masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk
kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus,
tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan
membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar
tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.(IPD
I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12
masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
3. Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher,
antara fascia koli media dan fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama
terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid
melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat
lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang
kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh
istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan
kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu
diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam
klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan
kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri
Tiroidea Superior (cabang dari Arteri Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea
Inferior (cabang Arteri Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh
jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal
dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas
dengan pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di
atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi
bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus.
Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan (Djokomoeljanto, 2001).
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
(Djokomoeljanto, 2001)
TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus.
Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang
selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa
dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid
(TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik
di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada
hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan
hipifisis terhadap rangsangan TSH.
Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra
tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto,
2001)
Kalorigenik
Termoregulasi
Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya
bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik,
karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian
pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin
meningkat.
Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis
kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu
ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol
rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A
di hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai
karotenemia.
Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat
menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik
sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan
hipotiroidisme.
7. Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan),
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
Struma Non Toxic Diffusa
Struma Non Toxic Nodusa
Stuma Toxic Diffusa
Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya
perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan
hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk
anatomi.
Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas
jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non
toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma
yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.Struma non toxic disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada
difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat
iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi
pada pre-existing penyakit tiroid autoimun
Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester
derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya,
kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan
goitrin dalam rumput liar
Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur
biosynthetic hormon kelejar tiroid
Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi
selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)
Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi: (Mulinda, 2005)
Defisiensi Iodium
Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum
thyroiditis
Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti
lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor
hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau
tiroid-stimulating immunoglobulin
Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan
dalam biosynthesis hormon tiroid.
Terpapar radiasi
Penyakit deposisi
Resistensi hormon tiroid
Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
Silent thyroiditis
Agen-agen infeksi
Suppuratif Akut : bacterial
Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit
granulomatosa parasit
Keganasan Tiroid
Struma Toxic Nodusa
Etiologi : (Davis, 2005)
Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level
T4
Aktivasi reseptor TSH
Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
Mediator-mediator pertumbuhan termasuk: Endothelin-1
(ET-1), insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast
growth factor.
Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave
desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab
pastinya (Adediji,2004)
Patofisiologi :
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini
menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok.
Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor
agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu
kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke
kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda, 2005)
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid
akan menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan
peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level
hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab
defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid,
defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah
reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor
antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma
di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human
chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)
STRUMA NON TOKSIK
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid
pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses
inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba
suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa
disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma
nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena
defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut
dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk
involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.
Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak
mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian
dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan
stridor inspirator (Noer, 1996) .
Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa
hal (Mansjoer, 2001) :
Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya
satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut
multinodosa.
Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif :
nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas.
Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik,
keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat
karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien,
khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis,
yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer,
1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis karena
konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak disertai rasa nyeri
kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens
menyebabkan terjadinya suara parau (Tim penyusun, 1994).
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya
benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase
karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri
ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang
ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim penyusun, 1994).
Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui
patogenesis atau macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu
ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit
seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah
mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh
(tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan
penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai
(Mansjoer, 2001) :
jumlah nodul
konsistensi
nyeri pada penekanan : ada atau tidak
pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan
pada leher bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita
menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit
jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari
kedua tangan pada tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada
leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus
kiri, kanan atau keduanya)
ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan
dalam sentimeter)
konsistensi
mobilitas
infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak
teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul
yang multiple, namun pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya
keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila
salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang
lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar
getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim
penyusun, 1994).
Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :
Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan
ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada
pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik
ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil
sidik tiroid dibedakan 3 bentuk
Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau
kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak
dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih
Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan
sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair,
dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas
atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
Kista
Adenoma
Kemungkinan karsinoma
Tiroiditis
Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle
Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista
dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer,
1996).
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan
suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak
menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat
memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi
kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena
salah interpretasi oleh ahli sitologi.
Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit
pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini
dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya
disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin
apabila <0,9o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua
hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding
dengan pemeriksaan lain.
Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian
tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada
kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
STRUMA TOKSIK
1. Struma difus toksik (Grave's Disease)
Grave's disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis.
Penyakit Grave's terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating
Hormone) yang merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001).
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama
yaitu tiroidal dan ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri
tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan (Price dan Wilson, 1994).
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi,
takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati
ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid
lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan
konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit,
sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola
mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan
Wilson, 1994).
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang
jelas, tetapi pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis.
Pada kasus-kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium
yang cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada
wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran
tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis.
Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan
didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas
subnormal an Free T4 (FT4) meningkat (Mansjoer, 2001).
2. Struma nodular toksik
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer's
disease (Sadler et al, 1999). Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia
sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal
jantung yang resisten terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula
memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot.
Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang
berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.
Penderita goiter nodular toksik mungkin
memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan
mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian,
tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada
penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan sesak napas
mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et al,
1999)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat,
pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat
hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan
(Sadler et al, 1999)
PENYAKIT TIROID YANG LAIN
Tiroiditis
Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi
kelenjar tiroid.
Klasifikasi (Noer, 1996) :
Akut (supuratif)
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh
bakteri atau jamur. Bentuk khas infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik
akut. Kuman penyebab antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus
hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi terjadi melalui aliran darah, penyebaran
langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan
duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai abses
atau tanpa abses.
Gejala klinis
adalah berupa nyeri di leher mendadak,
malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher
dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain
dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED
meninggi, sidikan tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah
antibiotik. Kokus gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau
derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan
satu lobus diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi
sudah menyebar melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan
insisi dan drainage.
Subakut
Etiologi
umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa
kasus dijumpai antibodi autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan
menjalar ke telinga, demam, malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau
sedang. Pada pameriksaan fisik ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya
disertai takikardi berkeringat, demam, tremor dan tanda-tanda lain
hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium sering di jumpai leukositosis, laju
endap darah meningkat.
Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi karena
penglepasan yang berlebihan akibat destruksi kelenjar tiroid oleh proses
inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri sehingga pengobatan yang
diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan asetosal untuk mengurangi nyeri.
Pada keadaan berat dapat diberikan glukokortokoid misalnya prednison dengan
dosis awal 50 mg/hari.
Menahun
Limfositik (Hashimoto)
Merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain
yaitu struma limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur
30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu besar,
simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan nyeri tekan.
Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan histopatologisnya
antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid dan
fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara histologis
melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan
pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena kelenjar tiroid dapat
mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal
tersebut.
Non spesifik
DAFTAR PUSTAKA
Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic.,
eMedicine.,
Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular.,
eMedicine.,
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi., EGC., Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermakna untuk perkembangan Blog ini